Mulutmu harimau. Itulah salah satu pepatah yang kerap kita dengar, kalau kita tidak bisa menjaga mulut maka ia bisa menjadi bumerang untuk melawan diri kita yang justru membuat orang tidak suka atau bahkan marah.
Namun bila kita menguasainya, maka ”harimau” itu bisa saja “menerkam” orang lain. Barack Obama berhasil menggeser saingannya dari satu partai Hillary Clinton untuk maju sebagai calon presiden AS. Selanjutnya ia juga berhasil membius rakyat Amerika dengan pidatonya sehingga bisa mengungguli rivalnya dalam pemilihan presiden baru lalu, John McCain.
Sejarah para orator ulung – sejak Soekarno hingga Winston Churchill, mulai dari Marthin Luther King hingga Hillary Clinton dan Barack Obama – selalu berawal karena mereka dibekali dengan otak yang brilian. Kemampuan berbicara di depan publik tanpa disertai dengan keluasan pengetahuan hanya akan membikin kita tampak seperti orang pandir. Dan ketrampilan bicara tanpa dibekali dengan kedalaman wawasan hanya akan membuat kita lebih pas menjadi penjual obat di pinggir jalanan – sayangnya politisi di tanah air lebih banyak yang layak masuk kategori ini.
Pasca reformasi 1998 angin kebebasan politik melahirkan liberalisasi politik dalam bentuk pengagungan individualisme. Liberalisasi politik dengan pabrik pemilihan langsung (one man one vote) baik pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah semakin mengarah ke individualisme politik dan politik menjadi transaksional. Bangsa Indonesia terjerumus dalam demokrasi angka (kuantitas), prosedural, tidak substantif. Musyawarah mufakat terabaikan karena musyawarah mufakat meniscayakan gotong royong : kerja bersama untuk kepentingan bersama. Sedangkan demokrasi angka mengandalkan popularitas diri dan individualisme. Ia bagai pasar bebas, siapa kuat dia yang menang.
Dalam praktek, pemilihan lansung telah menempatkan partai politik sebagai sub ordinat dari figur (politik) dan kekuatan kapital selalu menjadi pemenang. Rakyat dan kekuatan kelas menengah terkotak-kotak tanpa sadar dalam euforia politisi salon. Mereka tidak peduli dengan rekam jejak, latar sejarah seseorang tetapi siapa yang paling piawai dalam topeng salon kecantikan politik : permainan kata, mimik, gerak tubuh dan gaya berpidato sebagai kekuatan magis menyihir. Individualisasi politik menjadi akar delegitimasi organisasi rakyat dalam satu wadahnya yaitu partai politik.
Bahaya individualisme politik adalah hilangnya daya kontrol rakyat atas kekuasaan dalam pengandaian bahwa suatu sistem, budaya dan kedewasaan politik belum mencapai level terandalkan. Jelas sekali rivalitas individualisasi politik vs organisasi politik menguat dalam Pilpres 2004. Sosok SBY benar-benar memainkan individualisasi politik dengan kekuatan citra diri dan retorika. SBY, menjadi fenomenal, dicitrakan bersih, kuat, sosok sang Ratu Adil dimana dalam 100 hari akan segera menyelesaikan persoalan bangsa. Nonsense, tetapi rakyat terlanjur terpesona dan percaya.
Partai Demokrat yang ia bentuk, hanya menjadi pintu masuk saja untuk mencapai kekuasaan. Berhadapan mainstream politik : koalisi kebangsaan vs koalisi rakyat. Setelah terpilih, SBY menghadapi kenyataan pentingnya peran partai politik dibanding individualisasi politik yang dibangunnya dalam sistem pemerintahan presidensial.
Goncangan oposisi dari Koalisi Kebangsaan di parlemen (DPR-RI) dihadapi dengan langkah deparpolisasi dalam aksi. Pertama, pengambilalihan Partai Golkar oleh Jusuf Kalla (seorang pengusaha) dari tangan Akbar Tandjung (seorang organisatoris). Beturut-turut kemudian, pengambilalihan kekuasaan atas partai-partai politik dari para politisi dan organisatoris ke tangan pengusaha-pengusaha. PAN, dari Amien Rais ke Sutrisno Bachir dan seterusnya. Hanya PDI Perjuangan sebagai motor Koalisi Kebangsaan masih selamat dari upaya penggusuran politisi organisatoris dengan resiko pecah (kubu Roy BB Janis, dkk).
Gaya Presiden SBY yang santun menjadi modal kuat dalam pilpres 2009 nanti. Sebab, masyarakat dinilai masih menyukai sikap santun yang diperlihatkan oleh SBY dalam memimpin bangsa.
Hal ini diungkapkan Presiden Lembaga Riset Informasi Johan Polling, Johan O Silalahi dalam diskusi "Popularitas Pemimpin Nasional Menjelang Pemilu 2009", di Hotel Sultan, Jakarta.
"Gaya bahasa SBY yang sopan itu yang lebih diapresiasi masyarakat kita. Masyarakat lebih menerima gaya SBY yang sopan santun," ujarnya, Jakarta, Kamis (29/5/2008).
Namun, sikap lemah dan kurang tegas dalam memimpin akan menjadi kelemahan SBY dalam pilpres nanti.
Sedangkan, wakilnya Jusuf Kalla, dikenal dengan gaya bicara yang ceplas ceplos. Gaya seperti ini, dinilai Johan merupakan kelemahan bagi JK untuk menarik simpati masyarakat luas.
"Untuk dikalangan elit politik hal itu bisa diterima. Tapi, ketika untuk rakyat atau grass root belum tentu diterima," terangnya.
Luka dan dendam selepas pemilu legislatif, yang bermuara pada eksistensi partai, bercampur dengan hasrat serta fokus memperebutkan kursi presiden-wakil presiden. Riwayat SBY sebagai presiden 2004-2009, dengan setumpuk catatan atas prestasi, musibah, dan kebimbangan untuk mengartikulasikan sosok santun dan hati-hati. Boediono, dengan kapasitas sebagai ekonom tangguh, diperbincangkan dengan pertarungan karakter yang dahsyat; antara pendekar ekonomi dan antek asing. Jusuf Kalla, hadir dengan karakter tegas, gaya ucap ceplas-ceplos, namun bertindak cekatan. Wiranto mulai membangun stigma kalem, santun, dan baik hati, namun tak bisa menghindari catatan buram atas riwayat militer yang menjadi tangga kariernya.
Megawati, sebagai tokoh oposisi, mewarisi daya juang Bung Karno, walaupun tak bisa mengakomodasi semua nilai dan praktik perjuangan ayahnya. Sosok mantan presiden selepas Gus Dur ini, masih terkesan "pendiam" dan belum mengartikulasikan kecerdasan dan ketegasan Soekarno dalam strategi politik yang dibangun. Wakilnya, Prabowo Subianto, belum bisa melepaskan diri dari noktah hitam pelanggaran HAM, ketika berkuasa sebagai tokoh militer. Namun belakangan, citra Prabowo sudah didongkrak habis dengan iklan, gerakan politik dan laju partainya yang didukung beragam tokoh. Pertarungan karakter tiga pasangan ini, saling melawan, kadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan menyusun stigma diri.
Namun, yang penting diamati dalam kompetisi politik di pilpres 2009, adalah pertarungan bahasa untuk menyusun legitimasi diri. Ruang politik riuh dengan kompetisi bahasa, yang menohok, menyindir, namun kadang dilapisi selaput untuk pertahanan diri. Sindiran kerap muncul di seminar, rapat partai, maupun di sela-sela menghadiri hajatan publik. Media mengukuhkan pertarungan bahasa dalam jejaring kata dan berita. Pertarungan simbol dan citra saling melengkapi diri untuk membangun legitimasi.
SBY-Boediono memanggungkan jargon "bekerja keras untuk rakyat". Kerja pemerintah difokuskan sebagai usaha untuk kesejahteraan rakyat semata. Rakyat hadir sebagai tujuan, namun kerap dikesampingkan.
JK-Wiranto hadir dengan jargon "lebih cepat, lebih baik". Kecepatan ditempatkan sebagai prasyarat untuk mengukuhkan diri yang lebih baik. Istilah "cepat" hadir untuk memukul "lambat serta hati-hati", yang selama ini disandang SBY. Sindiran hadir untuk menggoyang citra lawan, sambil terus berlari menyusun legitimasi diri.
Pasangan Megawati-Prabowo, memposisikan diri dengan berjuang "membangun ekonomi kerakyatan". Isu yang kerap berdengung ini, merupakan modal penyusun karakter prorakyat. Dimensi ekonomi menguatkan jejaring tanda yang hadir dengan sekian catatan, perenungan dan tujuan untuk menggapai simpati. Jargon-jargon saling berlawanan, menggoyang, merobohkan, namun tetap saja berusaha serius membangun legitimasi dirinya sendiri.
Perang jargon akan semakin riuh, seiring dekatnya gerbang Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Panggung politik ramai dengan perang bahasa, citra, dan pesona, namun absen dari kegigihan memperjuangkan ideologi. Tiga pasangan capres-cawapres juga memakai jurus komunikasi agar dekat dengan telinga konstituen, dengan istilah ringkas dan bernas. Istilah ini menunjukkan optimisme, pesona, citra, namun juga harapan.
SBY Berboedi, muncul dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Bandung, 15 Mei lalu. Walaupun cepat-cepat diganti, karena desakan partai pendukung serta pertaruhan politis, namun istilah ini menghadirkan jejak di ring kompetisi pilpres. JK-Wiranto memunculkan harapan kemenangan lewat "JK-Win". Optimisme ditebarkan dengan permainan tanda untuk merengkuh kuasa. Mega-Pro, menjadi tanda komunikasi efektif bagi tim kemenangan Megawati-Prabowo Subianto. Pemilihan istilah ini tentu untuk menarik garis simpati agar mendukung pasangan capres-cawapres dari PDIP-Gerindra.
Pertarungan bahasa akan terus memanas dengan lahirnya jargon dan tanda baru yang disematkan untuk membangun cita diri. Inilah kompetisi politik yang disesaki dengan bahasa yang menyusun legitimasi diri.
Namun akhir dari semuanya adalah berada di tangan rakyat yang pada hari pencontrengan menentukan pilihannya. Dan karena sebagian besar (mungkin lebih tepat kalau saya katakan “hampir seluruhnya”) rakyat Indonesia hanya melihat cessingnya, hanya melihat luarnya saja, maka pemenang dari pertarungan ini adalah yang jago mencitrakan diri, jago mengolah kata-kata yang akan diucapkannya, jago “merayu” – sekalipun rayuannya rayuan gombal dan jago menempatkan diri seoalah-olah ia sebagai orang yang dizolimi oleh lawan-lawannya.

Ass..Pak Agus..menurut saya uraian ini bisa memberi wacana dan perspektif mengenai kata sebagai panglima. Amiin
BalasHapus